welcome in my maya world

Cinta Putih itu sebenarnya ada satu dalam diri manusia dan ta'kan terbagi. Kalaupun itu terbagi dia ta'kan utuh lagi.

A.TEORI
1. Type Data
Ada dua jenis data yang dapat diolah :
1. Karakter : Meliputi abjad A- Z atau a – z serta semua karakter yang ada di keyboard
2. Angka (bilangan) atau numerik
Meliputi angka yang dapat dioperasikan matematik, ada 4 janis bilangan :
a. Bilangan bulat biasa (integer)
Berkisar antara -32.768 s/d +32.767 (Penulisannya %)
Contoh : HARGA% = 15000
b. Bilangan bulat berskala besar (long integer)
Berkisar antara -2.147.483 s/d +2.147.483.647 (Penulisannya &)
Contoh : JUMLAH& = 500000
c. Bilangan berpresisi biasa (Single presision floating point)
Berkisar antara 1038 s/d 10-38 , mempunyai 6 digit maksimum (penulisan !)
Contoh : AWAL! = 6411.92
d. Bilangan berpresisi ganda (Double presision floating point)
Berkisar antara 10308s /d 10-308, mempunyai digit maksimum 16 (penulisannya #). Contoh :PT# = 12345678

2. Variabel dan konstanta
a.) Variabel
adalah tempat dalam memori computer yang diberi nama (sebagai pengenal) dan dialokasikan untuk menampung data.Sesuai data yang ditampung maka variabel harus mempunyai type data yang sesuai dengan aslinya. Pertama dengan menggunakan perintah-perintah DIM , PRIVATE , STATIC, dan PUBLIC yaitu mendeklamasikan nama variable beserta type datanya pada awal prosedur,seperti contoh dibawah ini:
Dim nama as string
Dim alamat as string * 30
Dim gaji as long
Kedua yang disebut dengan deklarasi implicit,seperti contoh dibawah ini ,
Nama $ = “Fariza”
Alamat $ = “jl.Slamet Riyadi no 58 A / Surakarta”
Gaji $ = 750000
b.) konstanta
- Konstanta : Suatu harga yang selalu tetap,baik pada saat compiling maupun running program.
Ada 3 jenis konstanta :
1. Konstanta huruf ( String Constanta )
Merupakn huruf yang dibatasi oleh tanda petik ganda ( “ “ )
Contoh : “ STMIK DUTA BANGSA SURAKARTA “ , “ 123456 “
2. Konstanta angka ( Numeric Constanta )
Bilangan yang diberi angka 0 s/d 9,baik pecahan atau tidak.
Contoh : 12345, 12345.7865
3. Konstanta terdefinisi ( Named Constanta )
Pendefinisian suatu konstanta berdasarkan nama konstanta tersebut. Biasanya diawali dengan %.
Contoh : %JUMLAH = -2

3. Operator
Operator adalah suatu tanda yang digunakan untuk menghubungkan suatu variable / konstanta dengan variable / konstanta lain dengan tujuan melakukan berbagai manipulasi dan pengolahan data.
Macam- macam operator pada MS.Visual Basic 6.0 :
1. operator penegasan (assignment)
operator penegasan ditimbulkan dengan tanda sama dengan (=) dan berfungsi untuk memasukkan suatu data kedalam suatu variable.

2. operator aritmatika
operator aritmatika digunakan untuk melakukan operasi aritmatika.operator aritmatika mempunyai hirarki paling tinggi dibaning operator pembanding dan operator logika. Penulisan operator aritmatika dengan hirarki paling tinggi ke paling rendah, sebagai berikut :
operator Operasi
^ Pemangkatan
- Tanda negative
* , / Perkalian & pembagian
\ Pembagian integer
Mod Modulus (sisa hasil bagi)
+ , - Penambahan & pengurangan
+ , & Penggabungan string

3. operator pembanding
operator pembanding digunakan untuk membandingkan suatu data (espresi) dengan data (espresi) lain dan menghasilkan nilai logika (Boolean) benar atau salah. Tentu saja antara kedua data yang dibandingkan harus mempunyai type data yang sama.
Bentuk dari operator Relasional/Pembanding seperti yang terpampang pada table berikut:
Operator Operasi
= Sama dengan
<> Tidak Samadengan
<,>,<=,>= Lebih kecil, lebih besar, lebh kecil samadengan, lebih besar samadengan
Like Mempunyai irri yang sesuai
Is Sama reference object

4. Operator Logika
Operator Logika digunakan untuk mengekspresikan satu atau lebih data (ekspresi) logika (Boolean) yang menghasilkan data logika baru. Tabel Operator Logika dengan hirarki dari atas ke bawah adalah sebagai berikut :
Operator Keterangan
Not Tidak
End, Or, X Or Dan, Atau, Exclusif Or
Eqv Equivalen
Imp Implikasi


4. Option,checkbox dan frame
a). OptionButton
Fasilitas pada Ms. Visual Basic 6.0 gunanya untuk menerangkan atau mewakili suatu informasi itu secara keseluruhan, contoh : warna.


b).Checkbox
Berfungsi untuk menerangkan suatu informasi yang akan dibuat atau dipilih, contoh : model tulisan.


c). Frame
Media atau fasilitas untuk menempatkan informasi yang dibuat dari OptionButton maupun ChekBox.


B. SOAL
1.Perkalian


2. Font color dan font style


C. pembahasan
1. Rancangan Form


2. Property Value

Object Property
Form 1 Nama : frKali
Caption : Perkalian
Label 1 Nama : lblJudul
Caption : Perkalian Dua Bilangan
Text 1 Nama : txtBill1
Label 2 Nama : lblKali
Caption : X
Text 2 Nama : txtBill2
Label 3 Nama : lblSamaDengan
Caption : =
Text 3 Nama : txtBill3
Command 1 Nama : cmdHitung
Caption := &Hitung
Command 2 Nama : cmdBersih
Caption : &Bersih
Command 3 Nama : cmdKeluar
Caption : &Keluar

Object Property
Form 2 Nama : frText
Caption : Font Colour & Font Style
Label Nama : lblJudul
Caption : Microsoft Visual Basic 6.0
Frame 1 Nama : frmColour
Caption : Font Colour
Option 1 Nama : optRed
Caption : Red
ForeColor : Red
Option 2 Nama : optYellow
Caption : Yellow
ForeColor : Yellow
Option 3 Nama : optBlue
Caption : Blue
ForeColor : Blue
Option 4 Nama : optGreen
Caption : Green
ForeColor : Green
Frame 2 Nama : frmStyle
Caption : Font Style
Check 1 Nama : chkBold
Caption : Bold
Check 2 Nama : chkUnder
Caption : Underline
Check 3 Nama : chkStrik
Caption : Strikeout
Ckeck 4 Nama : chkItalic
Caption : Italic
Command Nama : cmdExit
Caption : &Exit

3. Kode Program
Perkalian :
Private Sub cmdBersih_Click()
'Mengosongkan isi TextBox
txtBill1.Text = ""
txtBill2.Text = ""
txtHasil.Text = ""
txtBill1.SetFocus
End Sub

Private Sub cmdHitung_Click()
'Deklarasi Variabel Lokal
Dim a As Single
Dim b As Single
Dim Hasil As Single


If txtBill1.Text = "" Then
MsgBox "Bilangan 1 belum diisi", vbCritical, "Perhatian"
txtBill1.SetFocus
ElseIf txtBill2.Text = "" Then
MsgBox "Bilangan 2 belum diisi"
txtBill2.SetFocus
Else
a = txtBill1.Text
b = txtBill2.Text
Hasil = a * b
txtHasil.Text = Hasil
End If

End Sub

Private Sub cmdKeluar_Click()
'Mengakhiri Program
pesan = MsgBox("Anda yakin akan keluar?", vbOKCancel, "Keluar")
If pesan = vbOK Then End
End Sub

Font Colour & Font Style :
Private Sub optBlue_Click()
lblText.ForeColor = vbBlue
End Sub

Private Sub optGreen_Click()
lblText.ForeColor = vbGreen
End Sub

Private Sub optRed_Click()
lblText.ForeColor = vbRed
End Sub

Private Sub chkBold_Click()
If chkBold.Value = 1 Then
lblText.FontBold = True
Else
lblText.FontBold = False
End If
End Sub

Private Sub chkItalic_Click()
If chkItalic.Value = 1 Then
lblText.FontItalic = True
Else
lblText.FontItalic = False
End If
End Sub

Private Sub chkStrik_Click()
If chkStrik.Value = 1 Then
lblText.FontStrikethru = True
Else
lblText.FontStrikethru = False
End If
End Sub

Private Sub chkUnder_Click()
If chkUnder.Value = 1 Then
lblText.FontUnderline = True
Else
lblText.FontUnderline = False
End If
End Sub

Private Sub cmdExit_Click()
End
End Sub

Private Sub optYellow_Click()
lblText.ForeColor = vbYellow
End Sub


D. Tampilan Program



E. Tampilan Program Setelah Dijalankan
a. perkalian


b. Font color dan font style


Banyaknya GOSIP JALANAN buat JAKARTA MELEDAK LAGI tapi aku salut pada PANDANGAN PERTAMA, di Jakarta banyak banget di sana yang namanya KUIL CINTA tapi gara-gara SBY {SOSIAL BETAWI YO’I} semua jadi pecah belah. GARA-GARA KAMU Indonesia ga’ jadi sperti bunga MAWAR MERAH lagi. Pokoknya mau ga’ mau KAMU HARUS PULANG. Biar semua orang di Indonesia bias PISS dan ga’ ada lagi yang namanya ORKES SAKIT HATI untuk para ATMOSPHERE NGEBLUES.

Kami ATAS NAMA BLUES meminta agar di BALIKIN semua harta, tahta dan martabat kami, dan naikkanlah kembali Sang Merah Putih kebanggaan kami agar ga’ jadi BENDERA SETENGAH TIANG lagi.



Tutorial Blog
- 15:59 - 40 komentar
Cara Membuat Blog dengan Blogger.com

Sebelum anda langsung praktek membuat blog ada baiknya anda simak dulu video cara membuat blog berikut ini:


Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:

1. Pada address browser anda ketik http://blogger.com
2. Setelah itu akan tampil seperti terlihat pada gambar dibawah ini:



3. Klik CREATE YOUR BLOG NOW.
4. Tunggu sampai muncul tampilan seperti berikut ini:



5. Email address => di isi dengan alamat email kita (sebaiknya pake alamat email di gmail.com).
6. Enter a Password => di isi password anda
7. Retype Password => di isi dengan password yang sama dengan yang di atas.
8. Display Name => di isi dengan nama kita (ini akan ditampilkan pada blog anda nantinya)
9. Word Verification => isi persis sama dengan tulisan yang diatasnya, huruf besar ditulis dengan huruf besar gitu sebaliknya.
10. Klik/centang pada “I Agree the Term Service”.
11. Setelah itu tekan tombol Continue.
12. Selanjutnya muncul tampilan seperti berikut ini:



13. Blog Title => di isi dengan judul dari blog kita, posisinya ada pada header (bagian atas blog/pada bagian atas browser anda)
14. Blog Address (URL) => untuk ini bisa anda buat sendiri, misalnya seperti punya saya http://lbsfighter.blogspot.com. Utuk URL saya cukup dimasukkan lbsfighter pada input text, tentunya untuk URL anda lain lagi.
15. Word Verification => anda isi persis sama dengan kata yang ditampilkan dibawahnya, karena klo salah tidak akan bisa melanjut kelangkah berikutnya.
16. Jika semua sudah benar anda akan melihat seperti pada tampilan berikut ini:



# Sekarang kita memilih template yang disediakan oleh Google, sebaiknya sebelumnya ada baiknya kita mem-Preview dulu sebelum melanjutkan kelangkah berikutnya.
# Jika sudah cocok dengan templatenya tinggal di klik Continue.




19. Langkah selanjutnya anda tekan tombol Star Posting, untuk melakukan posting pada blog anda.

Ok, sekarang kita sudah berhasil membuat blog di Blogger.com, kalau ada masalah tinggal hubungi via email fuadfariza@rocketmail.com, atau kalau ada kesalahan penulisan atau langkah-langkah harap tinggalkan komentar anda dibawah ini.

HUBUNGAN INFORMASI AKUNTANSI KEUANGAN DAN MEKANISME CORPORATE
GOVERNANCE
Desi Ilona dan Zaitul
Fakultas Ekonomi Universitas Bung Hatta
ABSTRAK : Corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham,
pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan. Akuntansi keuangan menyediakan pemilik informasi utama mengenai
kinerja manajemen. Informasi akuntansi keuangan sebagai produk dari proses governance. Penggunaan Informasi Akuntansi
secara eksplisit dalam Corporate Governance bisa berupa kontrak antara manajemen dan individu atau lembaga yang
memberikan dana pada perusahaan. Pengunaan informasi akuntansi secara implisit dalam Corporate Governance merupakan
peran informasi akuntansi yang paling penting.
Kata kunci ; Informasi Akuntansi Keuangan dan Corporate Governance.
ABSTRACT: Corporate Governance is a set of rules to regulate the relationship among stockholder, management, Board of
director, and other stakeholder. Financial accounting provides the stockholder with primary information about the
management performance. Financial accounting information is a product of the governance process. The use of financial
accounting information can be in form of contract between management and investor. Whereas the use of accounting
information implicitly is the important role of accounting information.
Keyword ; Financial Accounting information and Corporate Governance.
1. LATAR BELAKANG.
Isu Corporate Governance meliputi mekanisme pemecahan masalah insentif yang ada karena adanya pemisahan
manajemen dan pemilik perusahaan dan pemasok dana lainnya. Akuntansi keuangan menyediakan pemilik informasi
utama mengenai kinerja manajemen. Dari sana jelaslah bahwa antara akuntansi keuangan dengan Corporate
Governance mempunyai hubungan yang kuat. Bahkan, aspek sentral akuntansi keuangan, seperti penggunaan
hystorical costs, reliability criterion, dan prinsip realisasi, dan prinsip konservatisme, sulit untuk dipahami kecuali
menggunakan kacamata Corporate Governance. Tanpa adanya masalah Governance, peran informasi akuntansi akan
berkurang khususnya penyediaan informasi risk dan return untuk pengambilan keputusan portofolio yang optimal.
Isu corporate governance muncul karena terjadi pemisahan antara kepemilikan dengan pengendalian perusahaan,
atau seringkali dikenal dengan istilah masalah keagenan. Permasalahan keagenan dalam hubungannya antara pemilik
modal dengan manajer adalah bagaimana sulitnya pemilik dalam memastikan bahwa dana yang ditanam tidak
diambil alih atau diinvestasikan pada proyek yang tidak menguntungkan sehingga tidak mendatangkan return.
Corporate governance diperlukan untuk mengurangi permasalahan keagenan antara pemilik dan manajer.
Beberapa konsep tentang corporate governance antara lain yang dikemukakan oleh Shleifer and Vishny (1997) yang
menyatakan corporate governance berkaitan dengan cara atau mekanisme untuk meyakinkan para pemilik modal
dalam memperoleh return yang sesuai dengan investasi yang telah ditanam. Iskandar dkk (1999) menyatakan bahwa
corporate governance merujuk pada kerangka aturan dan peraturan yang memungkinkan stakeholders untuk
membuat perusahaan memaksimalkan nilai dan untuk memperoleh return. Selain itu corporate governance
merupakan alat untuk menjamin direksi dan manajer (atau insider) agar bertindak yang terbaik untuk kepentingan
investor luar (kreditur atau shareholder) (Prowson, 1998).
Makalah ini mencoba untuk melihat keterkaitan antara informasi akuntansi keuangan dengan corporate governance.
Lebih jauh, makalah ini mencoba mellihat peran informasi akuntansi keuangan dalam corporaten governance baik
melalui penggunaan secara implisit maupun ekslisit.
2. TUJUAN DAN MANFAAT.
Makalah ini mencoba untuk melihat bagaimana hubungan antara informasi akuntansi dengan Corporate Governance.
Lebih jauh makalah ini melihat peran informasi akuntansi secara emplisit dan eksplisit. Tulisan bermanfaat bagi
stakeholder berapa pentingnya corporate governance dalam melahirkan laporan keuangan yang bersih.
3. PENGERTIAN CORPORATE GOVERNANCE
OECD (2004) dan FCGI (2001) mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang
menetapkan hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta pera
pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan
kata lain system yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa
corporate governance merupakan suatu mekanisme yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa supplier
keuangan atau pemilik modal perusahaan memperoleh pengembalian atau return dari kegiatan yang dijalankan oleh
manajer, atau dengan kata lain bagaimana supplier keuangan perusahaan melakukan pengendalian terhadap manajer.
Lebih jauh, Corporate Governance concern dengan kepentingan stakeholder lainnya (Lukviarman, 2000) Salah satu cara yang paling efisien dalam rangka untuk mengurangi terjadinya konflik kepentingan dan memastikan
pencapaian tujuan perusahaan, diperlukan keberadaan peraturan dan mekanisme pengendalian yang secara efektif
mengarahkan kegiatan operasional perusahaan serta kemampuan untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan yang berbeda. Mekanisme (pengendalian) internal dalam perusahaan antara lain struktur
kepemilikan dan pengendalian yang dilakukan oleh dewan komisaris dalam hal ini komposisi dewan (World Bank,
1999)
Melalui mekanisme kepemilikan institusional, efektivitas pengelolaan sumber daya perusahaan oleh manajemen
dapat diketahui dari informasi yang dihasilkan melalui reaksi pasar atas pengumuman laba. Kepemilikan
institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif
sehingga mengurangi tindakan manajemen melakukan manajemen laba. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh
institusi dapat mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup kemungkinan terdapat
akrualisasi sesuai kepentingan pihak manajemen.
Ada empat prinsip dasar pengelolaan perusahaan yang baik. Keempat prinsip ini juga menjadi prinsip Corporate
Governance, diantaranya adalah :
• Keadilan (fairness) yang meliputi : (a) Perlindungan bagi seluruh hak pemegang saham (b) Perlakuan yang
sama bagi para pemegang saham.
• Transparansi (transparancy) yang meliputi (a) Pengungkapan informasi yang bersifat penting (b) Informasi
harus disiapkan, diaudit dan diungkapkan sejalan dengan pembukuan yang berkualitas (c) Penyebaran
informasi harus bersifat adil, tepat waktu dan efisien.
• Dapat dipertanggungjawabkan (accountability) yang meliputi meliputi pengertian bahwa (a) Anggota dewan
direksi harus bertindak mewakili kepentingan perusahaan dan para pemegang saham (b) Penilaian yang
bersifat independent terlepas dari manajemen (c) adanya akses terhadap informasi yang akurat, relevan dan
tepat waktu.
• Pertanggungjawaban (responsibility) meliputi (a) Menjamin dihormatinya segala hak pihak-pihak yang
berkepentingan (b) Para pihak yang berkepentingan harus mempunyai kesempatan untuk mendapatkan ganti
rugi yang efektif atas pelanggaran hak-hak mereka (c) Dibukanya mekanisme pengembangan prestasi bagi
keikutsertaan pihak yang berkepentingan (d) Jika diperlukan, para pihak yang berkepentingan harus
mempunyai akses terhadap informasi yang relevan.
• Dan independensi untuk auditor eksternal.
4. PERAN AKUNTANSI DALAM CORPORATE GOVERNANCE
Agency Problem lahir dari adanya pemisahan antara manajemen dan penyandang dana, dimana manajer berusaha
untuk meningkatkan incentive mereka dalam rangka memakmurkan dirinya dan menagabaikan tugas utamanya yaitu
memaksimumkan kemakmuran pemilik. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya adalah
pengeluaran untuk dirinya manajemen. Sistim akuntansi keuangan menyediakan informasi yang penting untuk
Governance Mechanisms , yang membantu memecahkan masalah keagenen. Penggunaan informasi akuntansi dalam
Governance Mechanisms bisa dalam bentuk implisit atau eksplisit.
Penggunaan perjanjian yang berbasiskan dasar akuntansi dalam kontrak obligasi adalah salah contoh dari
penggunaan informasi akuntansi secara eksplicit. Penggunaan informasi ekuntansi untuk menyeleksi perusahaan
yang akan dijadikan target takeover adalah contoh dari penggunaan informasi akuntansi secara implisit.
Informasi akuntansi keuangan merupakan produk dari proses Governance. informasi akuntansi keuangan dihasilakan
oleh manajemen dan manajemen mengetahui informasi ini akan digunakan sebagai input dalam proses
Governance.dibawah ini dijelaskan mengenai informasi akuntansi keuangan sebagai produk dari proses Governance,
penggunaan informasi akuntansi secara eksplisit dan implisit.
• Informasi akuntansi keuangan sebagai produk dari proses governance.
Proses bagaimana informasi akuntansi lahir dan merupakan tanggung jawab dapat dilihat pada bagan 1. Bagan 1
menfokuskan kepada kasus Amerika dan bisa aplikasikan ke negra laannya. Proses pelaporan keuangan bagi
perusahaan umumnya diatur oleh pemerintah atau sistim hukum yang berlaku (kalau di Amerika SEC). selanjut
harus mengaju pada prinsip Akuntansi Yang Berterima Umum ( GAAP). Laporan keuangan juga akan diaudit
oleh Kantor Akuntan Publik (audit eksternal) untuk di periksa apakah dalam menyiapkan laporan keuangan
sudah sesuai dengan aturan dan prinsip yang berlaku. Perusahaan kemudian menunjuk Audit Committtee dari
keanggota Board of Director, yang mengawasi penyelesaian laporan keuangan dan berkomunikasi dengan
auditor eksternal sebagai wakil dari investor.
Banyak peneliti yang mengkaji bagaimana kualitas sistim pelaporan keuangan dihubungkan dengan bentuk dan
mekanisme Governance lainnya (diantaranya adalah La Porta, Lopez-De-Silanes, Shleifer and Vishny, 1998;
Bushman, Chen, Engel dan Smith, 2000). Penelitian lainnya juga mengembangkan literature tentang isu lainya
yang berhubungan dengan kualitas sistim pelaporan keuangan. Literature ini di bagi atas tiga kelompok.
Kelompok pertama mengkaji tentang kualitas disclosure dengan biaya modal (contoh, Lang and Lundholm,
1996; Botosan, 1997; dan Botosan dan Plumlee, 2000). Corporate Governance dijadikan sebagai ukuran apakah
perusahan yang dijadikan sample trasfaran atau tidak, khususnya terhadap kreditor. Hasil peneitiannya tidak
bervariasi, ada yang menemukan tingka disclosure mempengaruhi biaya hutang dan sebagaian lagi todak. Kedua
adalah menguji tentang efektivitas mekanisme pengawasan spesifik terhadap proses pelaporan keuangan. Area ini termasuk kajian tentang kualitas audit (contoh, Becker, DeFond, Jiambalvo dan Subramanyam, 1998; Francis,
Maydew dan Sparks, 1999) dan kualitas BOD dan Komite Audit ( contoh, Beasley, 1996; Dechow, Sloan dan
Sweeney, 1996; Carcello dan Neal, 2000; Peasnell, Pope dan Young, 2000 ). Area terakhir mengkaji sebab dan
akibat gagalnya proses pelaporan keuangan penelitian ini memfokuskan pada factor-faktor yang mempengaruhi
manajemen earning (contoh, Rangan, 1999; Teoh, Wong and Welch, 1999) dan manipulasi earning (contoh.,
Feroz, Park dan Pastena, 1991; Dechow, Sloan dan Sweeney 1996).
• Penggunaan Informasi Akuntansi secara eksplisit dalam Corporate Governance
Penggunaan informasi akuntansi secara eksplisit dalam kontrak antara manajemen dan individu atau lembaga
yang memberikan dana pada perusahaan merupakan contoh dari penggunaan informasi akuntansi dalam
mekanisme Governance. khususnya penggunaan informasi akuntansi sebagai alat ukur kinerja manajemen pada
kontrak mengenai sistim kompensasi untuk manajemen. Ini merupakan gambaran peran informasi akuntansi
dalam mekanisme Governance. kompensasi yang berbasiskan laporan keuangan hanya merupakan bagian kecil
dari insentif yang ada. Insentif yang berdasarkan kenaikan harga saham cendrung sebagai dasar mereka investor
untuk memberikan insentif pada manajemem (penelitian tentang isu ini telah dilakukan peneliti diantaranya
adalah , Murphy, 1985; Core, Guay and Verrecchia, 2000).
Berlawanan dengan literature tentang peran informasi akuntansi dalam kompensasi diatas, penggunaan informasi
akuntansi secara eksplisit pada perjanjian hutang masih berlanjut. Penelitian pendahuluan yang dilakukan oleh
Smith dan Warner (1979) dan Leftwich (1983) mendokumentasikan keberadaan dan fungsi akuntansi dalam
perjanjian kontrak hutang antara kreditor dan perusahaan.. penelitian pada area ini memfokuskan pada pada
implikasi pemilihan metode akuntansi yang digunakan(contoh., Press dan Weintrop, 1990; Sweeney, 1994).
Tapi, peran informasi akuntansi pada kontrak keuangan telah terus berlangsung perkembangannya dan mendapat
sambutan yang mengembirakan, khususnya perjanjian peminjaman dan pelunasan hutang. Contoh penggunaan
informasi akuntansi adalah berapa bunga harus dikenakan pada perusahaan didasarkan atas kekuatan keuangan
perusahaan dan ini didasarkan atas data akuntansi. Data akuntansi di analisa yang dijadikan rasio-rasio keuangan
dan dikelompokan atas beberapa aspek diantaranya likuiditas, solvabiltias, efektivitas dan profitabilitas.
• Pengunaan informasi akuntansi secara implisit dalam Corporate Governance
Penggunaan informasi akuntansi secara implisit dalam mekanisme Corporate Governance merupakan peran
informasi akuntansi yang paling penting. Dalam kontek ini, valuasi dan peran akuntansi menjadi saling
berhubungan. Dalam konteks bahwa investor bersedia berinvestasi pada perusahaan merupakan fungsi
information efficiency dan tingkat likuiditas pasar modal. Sehingga, penelitian akuntansi yang berbasiskan pasar
modal dan memfokuskan penggunaan informasi akuntansi dalam penilaian surat-surat berharga merupakan
implikasi pada isu Corporate Governance. Tapi, daripada memfokuskan pada peran governance akuntansi
melalui peranya dalam menfasilitasi informational efficiency harga saham. Bahkan informasi akuntansi
kelihatannya secara langsung memfasilitasi jalanya mekanisme Governance spesifik.
Penelitian empiris mendukung bahwa informasi akuntansi secara implisit digunakan dalam mekanisme
Governance yang beragam. Ada dua area paling, kajian tentang peran informasi akuntansi dalam mekanisme
Corporate Governance yaitu Legal Protection dan Large Investor. Dalam kategori legal protection, beberapa
penelitian telah mendokumentasikan peran informasi akuntansi dalam menjalankan hak legal investor dalam
melawan menajem. Investor tidak bisa membawa masalah tersebut ke pengadilan karena manajemen telah
melakukan kecurangan atau kegiatan yang tidak sesuai dengan apa yang digariskan oleh investor (pemilik).
Karena sistim pelaporan keuangan adalah mekanisme internal utama yang memberi fasilitas komunikasi antara
manajemen dan investor.
Penelitian mendokumentasikan bahwa masalah akuntansi dan pengungkapan sangat berhubungan dengan perkara
hokum pemegang saham dan bahwa manajemen melakukan seolah-olah mereka memenage strategi pelaporan
keuangan untuk mengurangi biaya yang berhubungan dengan perkara hukum investor (contoh ., Kellogg, 1984;
Francis, Philbrick dan Schipper, 1994; Skinner, 1994; Skinner 1996). Informasi akuntansi juga memainkan peran
penting dalam menjalankan hak kreditor dalam kasus tidak di lunasinya hutang perusahaan atau dalam kondisi
bankrupt.
Dalam kategori kedua, informasi akuntansi secara implisit memfasilitasi jalanya mekanisme Governance adalah
large investor. Large investor bisa mempengaruhi tindakan manajemen melalui Board of Diretor, yaitu atoritas
untuk menggunakan manajemen atau meberhentikannya . penelitian akademik memyimpulkan bahwa BOD
menggunaka kenerja laba akuntansi sebagai input untuk keputusan memberhentikan manajemen (Weisbach,
1988). Tapi, dalam banyak kasus, investor yang memiliki saham besar tidak mempunyai hak suara mayoritas di
dewan komisaris dan mungkin harus mengambil tindakan yang lebih drastis seperti takeover atau proxy contest
untuk merebut control BOD dan mendisiplinkan manajemen. Penelitian juga menemukan bahwa pengukuran
kinerja akuntansi berhubungan keputusan takeover (Palepu,1986), proxy contests (DeAngelo, 1988), dan
institutional investor activism (Opler dan Sokobin, 1998).
Selain Penelitian yang dilakukan oleh peneliti diatas, banyak peneliti lain yang menguji pengaruh institutional
investor activism terhadap kinerja perusahaan telah banyak dilakukan dengan menggunakan informasi akuntansi.
Secara umum melaporkan tidak ada bukti yang meyakinkan aktivisme investor mempengaruhi kinerja
perusahaan. Walaupun sebagian kecil melaporkan bahwa ada pengaruh perusahaan yang menjadi target
CalPERS terhadap tingkat pengembalian jangka panjang (Nesbitt, 1994). Tapi hasil Nesbitt (1994) di kounter
oleh Guercio dan Hawkins (1997) yang menyimpulkan bahwa masih ada perusahaan yang menjadi target
CalPERS (perusahaan yang mempunyai kinerja tidak bagus) mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat
pengembalian.
Penelitian yang menemukan tidak adanya pengaruh aktivisme investor institusi terhadap kinerja perusahaan
dilakukan banyak peneliti yaitu Daily, John, Elstrand dan Dalton (1996), Bear dan Sias (1997), Opler dan
Sokobin`s (1997), Carleton, Nelson dan Weisbach (1997) dan lain-lain. Dari penelitian-penelitian tersebut, tak
seorang penelitipun berani menyimpulkan bahwa aktivisme investor institusi memberikan dampak positif
terhadap kinerja perusahaan.
Walaupun aktivisme investor institusi tidak berdampak positif terhadap kinerja perusahaan, tapi aktivisme ini
bisa merubah budaya perusahaan sehingga mempengaruhi kinerja perusahaan secara keseluruhan. Seperti yang
dikemukan oleh Gordon (1997b), Black dan Coffee (1994), dan Coffee (1997). Perubahan budaya memang tidak
dapat di uji secara langsung. Tapi melalui perubahaan Governance yang didukung oleh institusi akan berdampak
terhadap kinerja perusahaan. Bukti empiris menyimpulkan bahwa sudah tiga perubahan yaitu (i) perubahan
komposisi dewan komisaris, (ii)komite nominasi dan kompensasi yang berasal dari dewan komisaris independen
dan (iii) pemisahan posisi pimpinan dewan komisaris dengan CEO.
Investor institusi sangat mendukung yang duduk di dewan komisaris adalah komisaris independen. Tapi tidak
ada jaminan dengan banyak komposisi komisaris independen dan pemisahan posisi pimpinan dewan komisaris
dengan CEO akan meningkatkan kinerja perusahaan secara keseluruhan (Klein, 1997b), Brickley, Coles, dan
Jarrell (1997).
Dari penjelasan diatas dapat di simpulkan bahwa informasi akuntansi mensuplai input yang paling penting ke
dalam mekanisme Corporate Governance. informasi akuntansi secara implisit digunakan baik untuk menunjukan
apakah aksi governance melawan manajemen dibutuhkan dan untuk membantu menentukan pengeluaran untuk
stakeholder lainnya jika terjadi masalah hukum dan penurunan kinerja keuangan.
5. KESIMPULAN
Akuntansi keuangan adalah kunci utama dalam proses Corporate Governance. seperangkat lembaga dan aturan
terlibat didalam proses pelaporan keuangan perusahaan, dan informasi yang disediakan oleh proses ini input penting
bagi mekanisme corporate Governance. Akuntansi keuangan merupakan aspek penting dalam corporate Governance,
tanpa corporate governance laporan keuangan kurang berperanya.

DAFTAR PUSTAKA
Brickley, J.A., Coles, J.L., and Jarrell, G., 1997, Leadership structure: Separating the CEO and chairman of the board,
Journal of Corporate Finance 3: 189-220.
Black, B.S. and Coffee, J.C., Jr., 1994, Hail Britannia?: Institutional investor behavior under limited regulation. Michigan
Law Review 92: 1997-2087.
OECD. 2004. “OECD Principles of Corporate Governance.”
Forum for Corporate Governance in Indonesia. 2001. “Peranan Dewan Komisaris dan Komite Audit dalam Pelaksanaan
Corporate Governance.” Seri Tata Kelola Perusahaan, Jilid II. Edisi ke – 2. Jakarta.
Shleifer, A. and R.W. Vishny. 1997. “A Survey of Corporate Governance.” Journal of Finance, Vol.52. No.2. June, p.737-
783.
World Bank. 1999. “Corporate Governance: A Framework for Implementation.”
La Porta, R., F. Lopez-De-Silanes, A. Shleifer and B. Vishny, 1998, Law and Finance, Journal of Political Economy, 106,
1113-1155.
Bushman, R. Q. Chen, E. Engel and A. Smith, 2000, The sensitivity of corporate governance systems to the timeliness of
accounting earnings, Working paper, University of Chicago.
Lang, M. and R. Lundholm, 1996, Corporate disclosure policy and analyst behavior, The Accounting Review, 71, 467-92.
Botosan, C., 1997, Disclosure level and the cost of equity capital, The Accounting Review, 72, 323-349.
Botosan, C. and M. Plumlee, 2000, Disclosure level and the expected cost of equity capital, Working paper, University of
Utah.
Becker, C., M. DeFond, J. Jiambalvo and K. R. Subramanyam, 1998, The effect of audit quality on earnings management,
Contemporary Accounting Research, 15, 1-24.
Francis, J., E. Maydew and H. Sparks, 1998, The Role of Big 6 Auditors in the Credible Reporting of Accruals, Auditing: A
Journal of Theory and Practice, 1998
Beasley, M., 1988, An empirical analysis of the relation between board of director composition and financial statement
fraud, The Accounting Review, 71, 443-466.
Dechow, P., R. Sloan and A. Sweeney, 1996, Causes and Consequences of Earnings Manipulation, Contemporary
Accounting Research, 13, 1-36.
Carcello, J and T. Neal, 2000, Audit Committee Composition and Auditor Reporting, Working paper, University of
Tennessee.
Peasnell, K., P. Pope and S. Young, Board monitoring and earnings management: Do outside directors influence abnormal
accruals? Working paper, Lancaster University.
Rangan S., 1998, Earnings management and the performance of seasoned equity offerings, Journal of Financial Economics,
51, 101-122.
Teoh, S., T. Wong and I. Welch, 1998, Earnings management and the underperformance of seasoned equity offerings,
Journal of Financial Economics, 51, 63-99.
Feroz, E., K. Park and V. Pastena, 1991, The financial and market effects of the SEC’s accounting and auditing enforcement
releases, Journal of Accounting Research, 29, 107-142.
Dechow, P., R. Sloan and A. Sweeney, 1996, Causes and Consequences of Earnings
Manipulation, Contemporary Accounting Research, 13, 1-36.
Murphy, K., 1985, Corporate performance and managerial renumeration: An empirical analysis, Journal of Accounting and
Economics, 7, 11-42.
Core, J., W. Guay and R. Verrechia, 2000, Are performance measures other than price important to CEO incentives?
Working paper, University of Pennsylvania.
Smith, C, and J. Warner, 1979, On financial contracting, An analysis of bond covenants, Journal of Financial Economics, 7,
117-161.
Leftwich, R., 1983, Accounting information in private markets: Evidence from private lending agreements, 58, 23-42.
Press G., and E. Weintrop, 1990, Accounting-based constraints in public and private debt agreements: Their association with
leverage and impact on accounting choice, Journal of Accounting ad Economics, 12, 65-95.
Sweeney, A, 1994, Debt-covenant violations and managers’ accounting responses, Journal of Accounting and Economics,
17, 281-308.
Kellogg, R., 1984, Accounting activities, security prices and class action lawsuits, Journal of Accounting and Economics, 6,
185-204.
Francis, J., D. Philbrick and K. Schipper, 1994, Shareholder litigation and corporate disclosure, Journal of Accounting
Research, 32, 137-164.
Skinner, 1996, Why is stockholder litigation tied to accounting and disclosure problems? Working paper, University of
Michigan.
Skinner, D., 1994, Why firms voluntarily disclose bad news, Journal of Accounting Research, 32, 38-60.
Weisbach, M., 1988, Outside directors and CEO turnover, Journal of Financial Economics, 20, 431-460.
Palepu, K., 1986, Predicting takeover targets: A methodological and empirical analysis, Journal of Accounting and
Economics, 8, 3-36.
DeAngelo, L., 1988, Managerial competition, information costs and corporate governance: the use of accounting
performance measures in proxy contests, Journal of Accounting and Economics, 10, 3-36.
Opler, T. and J. Sokobin, Does Coordinated Institutional Shareholder Activism Work? Working paper, Ohio State
University.
Nesbitt, S.L., 1994, Long-term rewards from shareholder activism: A study of the "CalPERS" effect. Journal of Applied
Corporate Finance 6 (Spring): 75-80.
Daily, C.M., Johnson, J.L., Ellstrand, A.E. and Dalton, D.R., 1996, Institutional investor activism: Follow the leaders?
Working paper. Purdue University.
Carleton, W.T., Nelson, J.M. and Weisbach, M.S., 1997, The influence of institutions on corporate governance through
private negotiations: Evidence from TIAA-CREF. Working paper. University of Arizona, Department of Finance.
Gordon, J.N., 1997b, The shaping role of corporate governance in the new economic order. University of Richmond Law
Review 32:

LOVE BASED ACCOUNTING EDUCATION AND HYPERVIEW OF LEARNING

Oleh: AJI DEDI MULAWARMAN


Abstract

Love based accounting education is a concrete understanding about education interaction based on trust, honesty and to banish doubt and treasons. Love in education should always be directed towards love to Allah SWT. This is Tawhid. By doing this, education will be freed from anthropocentrism, secularism and corporate hegemony. Love Based Accounting Education have consequences on learning process, since it would require Hyper View of Learning. Hyperview of learning added two learning conceptions to six learning conceptions proposed by Rossum and Shenk (1984) and Morton et al (1993) in Byrne and Flood (2004) which are: the increase of knowledge, memorizing, acquistion of facts, abstraction of meaning, an interpretive process and changing as a person, with a self awareness with intuitive process, and an obedience activity in a spiritual way

Pendahuluan

Mulawarman (2006b) menjelaskan bahwa sistem pendidikan akuntansi saat ini telah lepas dari realitas masyarakat Indonesia disebabkan sistem dan konsep pendidikan akuntansi dibawa langsung dari “dunia lain” (baca: Barat) yang memiliki nilai-nilai Indonesia sendiri tanpa kodifikasi dan penyesuaian yang signifikan. Akuntansi merupakan produk yang dibangun dan dikembangkan dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat dimana akuntansi dan sistem akuntansi dikembangkan (lihat misalnya Hines 1989; Morgan 1989; Tinker 1980; Mulawarman 2006a dan banyak lainnya). Akuntansi dan sistem pendidikan akuntansi mmemang membawavalues (nilai-nilai) “sekularisasi” yang memiliki ciri utama self-interest, menekankanbottom line laba dan hanya mengakui realitas yang tercandra (materialistik).

Konsekuensi nilai sekuler ini lanjut Mulawarman (2006b) telah mengarahkan pendidikan akuntansi dengan tiga karakteristik utama.

Pertama, pendidikan akuntansi sebagai desain ”perangkap hegemoni korporasi” (Mayper et.al. 2005) serta diarahkan untuk “mengisi” peserta didik dalam memahami kepentingan ekonomi (Amernic dan Craig 2004). Kondisi yang berlangsung lama ini kemudian menjadi “dogma” akuntansi yang “universal” dan dilihat sebagai evolusi pendekatan ekonomi positivistik (Truan dan Hughes 2003).

Kedua, pandangan pembelajaran yang dijalankan di Indonesia masih didasarkan pada konsepsi pembelajaran reproductive view of learning dan kurang menggunakan konsep “constructive view of learning (Byrne dan Flood 2004).

Ketiga, pandangan pembelajaran seperti ini menyebabkan mahasiswa tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah kontekstual dan selalu berubah-ubah. Pendidikan akuntansi dengan pandangan pembelajaran reproduktif jelas tidak dapat melihat pentingnya membekali mahasiswa menjadi pionir-pionir pemberdayaan masyarakat. Mereka menjadi pribadi-pribadi yang asing dengan lingkungannya tetapi lebih akrab dengan dunia bisnis yang bergelimang peredaran dana ratusan miliar per hari di pasar modal.

Berdasarkan tiga masalah utama pendidikan akuntansi tersebut, Mulawarman (2008) kemudian mengusulkan Hyper View of Learning sebagai pusat dari Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta Yang Melampaui (Hiperlove). Mewujudkan pendidikan akuntansi berbasis cinta adalah akuntabilitas-moralitas yang berpusat pada nilai-nilai holistik. Ilmu akuntansi tidaklah melakukan pembatasan ontologis terhadap hal yang mistik dan metafisik yang telah dilakukan oleh Sain Barat/Modern yang menyebabkannya menjadi materialistik. Tetapi yang paling penting adalah melakukan proses integrasi dan sinergi rasio dan intuisi dan menuju nilai spiritual yang dapat memberi kekuatan dalam pengembangan pendidikan. Cinta yang melampaui memberikan konsekuensi-konsekuensi logis dalam pendidikan akuntansi.

Konsekuensi Logis Pengembangan Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta

Bentuk hyper view of learning menurut Mulawarman (2006b) adalah pencerahan dan pembebasan dengan menyetujui perluasan akuntabilitas disamping untuk kepentingan shareholders/market juga terhadap karyawan, pemasok, masyarakat alam, dan Tuhan. Itulah akuntabilitas yang didasarkan cinta sinergis yang egoistis-altruistis dan materialistis-religius. Konsekuensi logis dari akuntabilitas yang diperluas, akan membebaskan sistem pendidikan dari hegemoni korporasi sekaligus memberikan nilai tambah (value added) bagi peserta didik/mahasiswa akuntasi. Lepasnya hegemoni korporasi akan memberikan keluasaan akuntan pendidik mendistribusikan konsep sampai dengan teknik akuntansi yang seimbang, seperti konsep dasar teoritis dan teknik akuntansi berbasis proprietary theory untuk perusahaan kecil, entity theory untuk perusahaan yang memisahkan manajemen dan pemilik/pemegang saham, atau enterprise theory yang mencakup akuntabilitas lebih luas. Lepasnya hegemoni korporasi pada gilirannya menggiring penggalian dan konstruksi dinamis konsep akuntansi bagi akademisi yang jauh lebih luas daripada yang selama ini ada dan didominasi pengembangan akuntansi berbasis entity theory. Nilai tambah akan memberikan pemahaman lebih luas terhadap kepentingan pengambilan kebijakan akuntansi bagi para peserta didik ketika lulus. Bukan melakukan judgement yang di-kooptasi perusahaan, tetapi memiliki empati terhadap selain stockholders di dalam lingkungan intern perusahaan, seperti karyawan, buruh, manajemen misalnya. Empati juga akan muncul terhadap lingkungan eksternal perusahaan seperti pemasok, lingkungan alam dan terutama adalah akuntabilitas pribadinya kepada Tuhan. Pada gilirannya akuntan hasil pendidikan yang bebas hegemoni korporasi meningkatkan ekstensi empati seperti keinginan untuk melakukan pemberdayaan masyarakatnya dengan membuat teknik dan prosedur akuntansi yang bermanfaat bagi perusahaan mikro, kecil dan menengah, koperasi maupun perusahaan berbasis religius tanpa dibayangi rewardmaterial signifikan.

Konsekuensi lainnya lanjut Mulawarman (2006b) adalah pada pembelajaran yang secara normatif tidak lagi ditekankan pembelajaran mahasiswa pada konsepprocedural learning dan surface approach dan juga bentuk konseptual deep approach to learning, tetapi menekankan pembelajaran kesemuanya dan sekaligus melampauinya (hyper). Pelampauan (hyper) dalam pendekatan pembelajaran berdasar enam konsepsi pembelajaran dari Van Rossum dan Schenk (1984) dan Marton et.al. (1993), perlu penambahan dua konsepsi pembelajaran, yaitu pendekatan intuitif dan spiritualitas . Delapan konsepsi pembelajaran (Hyper view of learning) menurut Mulawarman (2006b) adalah sebagai berikut: the increase of knowledge, memorizing, acquistion of facts, abstraction of meaning, an interpretive process and changing as a person, with a self awareness with intuitive process, and an obedience activity in a spiritual way.Konsekuensinya adalah memberikan bekal bagi setiap peserta didik atau mahasiswa akuntansi untuk dapat mengembangkan gagasan, teori, konsep akuntansi yang relatif baru dengan keluasan akuntabilitas, bukan bersifat materi yang terbatas (stockholders dan lingkungan sosial), tetapi juga mengarah pada akuntabilitas lebih luas (alam dan Ilahiah). Konsekuensi logis konsep pembelajaran yang melampaui (hyper) ini kemudian tidak lagi mengutamakan dan melihat metodologi yang digunakan dalam riset akuntansi yang memiliki nilai scientific bila ber-”aroma” obyektif/kuantitiatif/statitistik/positivistik atau lebih menekankan pada riset yang ber-“aroma” subyektif/kualitatif/non-statistik/non-positifistik. Tetapi proses riset dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhannya.

Referensi:

Mulawarman, Aji Dedi. 2006a. Menyibak Akuntansi Syari’ah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah dari Wacana ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana Jogjakarta.

Mulawarman, Aji Dedi. 2006b. Pensucian Pendidikan Akuntansi. Prosiding Konferensi Merefleksi Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana. Salatiga, 1 Desember.

Mulawarman, Aji Dedi. 2008. Pendidikan Akuntansi Berbasis Cinta: Lepas dari Hegemoni Korporasi Menuju Pendidikan Membebaskan dan Konsepsi Pembelajaran Yang Melampaui. Jurnal EKUITAS STIESIA. Juni.

AKUNTANSI SYARIAH

2008 Februari 14

breaknews: Buku Akuntansi Syariah Baru

Link Konsep Nilai Tambah Syariah

Link lanjutan mengenai Akuntansi Syariah: Pengantar Bagian Dua

Link lain bertema Tazkiyah Tujuan Akuntansi Syariah

Link lain bertema Review Exposure Draft PSAK Akuntansi Syariah

1. PENDAHULUAN

Segala Puji Bagi Allah. Sesungguhnya kesucian dan kebenaran hanyalah bersumber dari dan diniatkan/ditujukan kepada Allah. Sering kita bertanya-tanya bagaimana bentuk akuntansi di Indonesia? Seperti kita ketahui hampir seluruh ‘peta’ akuntansi Indonesia merupakan by product Barat. Akuntansi konvensional (Barat) di Indonesia bahkan telah diadaptasi tanpa perubahan berarti. Hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan, standar, dan praktik akuntansi di lingkungan bisnis. Kurikulum, materi dan teori yang diajarkan di Indonesia adalah akuntansi pro Barat. Semua standar akuntansi berinduk pada landasan teoritis dan teknologi akuntansi IASC (International Accounting Standards Committee). Indonesia bahkan terang-terangan menyadur Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements IASC, dengan judul Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) (Mulawarman 2006b; 2007d).

Perkembangan terbaru, saat ini telah disosialisasikan sistem pendidikan akuntansi “baru” yang merujuk internasionalisasi dan harmonisasi standar akuntansi. Pertemuan-pertemuan, workshop, lokakarya, seminar mengenai perubahan kurikulum akuntansi sampai standar kelulusan akuntan juga mengikuti kebijakan IAI berkenaan Internasionalisasi Akuntansi Indonesia tahun 2010 (Mulawarman 2007d).

Dunia bisnis tak kalah, semua aktivitas dan sistem akuntansi juga diarahkan untuk memakai acuan akuntansi Barat. Hasilnya akuntansi sekarang menjadi menara gading dan sulit sekali menyelesaikan masalah lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan ”market” (pasar modal) dan tidak dapat menyelesaikan masalah akuntansi untuk UMKM yang mendominasi perekonomian Indonesia lebih dari 90%. Hal ini sebenarnya telah menegasikan sifat dasar lokalitas masyarakat Indonesia (Mulawarman 2006b).

Padahal bila kita lihat lebih jauh, akuntansi secara sosiologis saat ini telah mengalami perubahan besar. Akuntansi tidak hanya dipandang sebagai bagian dari pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan. Akuntansi telah dipahami sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai (value laden), tetapi dipengaruhi nilai-nilai yang melingkupinya. Bahkan akuntansi tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi lingkungannya (lihat Hines 1989; Morgan 1988; Triyuwono 2000a; Subiyantoro dan Triyuwono 2003; Mulawarman 2006).

Ketika akuntansi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis akuntansi konvensional yang saat ini masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter akuntansi pasti kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Ketika akuntansi memiliki kepentingan ekonomi-politik MNC’s (Multi National Company’s) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka akuntansi yang diajarkan dan dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi pada kepentingan neoliberalisme ekonomi pula (Mulawarman 2007d).

Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah memang kita tidak memiliki sistem akuntansi sesuai realitas kita? Apakah masyarakat Indonesia tidak dapat mengakomodasi akuntansi dengan tetap melakukan penyesuaian sesuai realitas masyarakat Indonesia? Lebih jauh lagi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang religius? Religiusitas Indonesia yang didominasi 85% masyarakat Muslim?

2. Akuntansi Syari’ah: ANTARA Aliran Pragmatis DAN IDEALIS

Perkembangan akuntansi syari’ah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis.

2.1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis

Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.

Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syari’ah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).

Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syari’ah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank syari’ah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.

Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syari’ah di Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai tujuan syari’ah (maqasid syari’ah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syari’ah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syari’ah. Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syari’ah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syari’ah telah establish dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syari’ah lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syari’ah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.

2.2. Akuntansi Syari’ah Aliran Idealis

Aliran Akuntansi Syari’ah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFI maupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syari’ah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).

Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syari’ah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syari’ah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.

Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ate ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian alam).

2.3. Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis

Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syari’ah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syari’ah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syari’ah aliran pragmatis dan idealis, silakan lihat gambar berikut:

idealispragmatis.jpg


3. Proyek IMPLEMENTASI Shari’ate Enterprise Theory

Proses pencarian bentuk teknologis aliran idealis dimulai dari perumusan ulang konsep Value Added (VA) dan turunannya yaitu Value Added Statement (VAS). VA diterjemahkan oleh Subiyantoro dan Triyuwono (2004, 198-200) sebagai nilai tambah yang berubah maknanya dari konsep VA yang konvensional. Substansi laba adalah nilai lebih (nilai tambah) yang berangkat dari dua aspek mendasar, yaitu aspek keadilan dan hakikat manusia.

Terjemahan konsep VA agar bersifat teknologis untuk membangun laporan keuangan syari’ah disebut Mulawarman (2006, 211-217) sebagai shari’ate value added (SVA). SVA dijadikan source untuk melakukan rekonstruksi sinergis VAS versi Baydoun dan Willett (1994; 2000) dan Expanded Value Added Statement (EVAS) versi Mook et al. (2003; 2005) menjadi Shari’ate Value Added Statement (SVAS). SVA adalah pertambahan nilai spiritual (zakka) yang terjadi secara material (zaka) dan telah disucikan secara spiritual (tazkiyah). SVAS adalah salah satu laporan keuangan sebagai bentuk konkrit SVA yang menjadikan zakat bukan sebagai kewajiban distributif saja (bagian dari distribusi VA) tetapi menjadi poros VAS. Zakat untuk menyucikan bagian atas SVAS (pembentukan sources SVA) dan bagian bawah SVAS (distribusi SVA).

SVAS lanjut Mulawarman (2006) terdiri dari dua bentuk laporan, yaitu Laporan Kuantitatif dan Kualitatif yang saling terikat satu sama lain. Laporan Kuantitatif mencatat aktivitas perusahaan yang bersifat finansial, sosial dan lingkungan yang bersifat materi (akun kreativitas) sekaligus non materi (akun ketundukan). Laporan Kualitatif berupa catatan berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pencatatan laporan pembentukan (source) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif. Kedua, penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas dari VA yang wajib dikenakan zakat dan distribusi Zakat pada yang berhak. Ketiga, pencatatan laporan distribusi (distribution) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif.


DISARIKAN DARI:

Mulawarman, Aji Dedi. 2006. Menyibak Akuntansi Syari’ah: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syari’ah Dari Wacana Ke Aksi. Penerbit Kreasi Wacana. Jogjakarta.

Mulawarman, Aji Dedi. 2006b. Pensucian Pendidikan Akuntansi. Prosiding Konferensi Merefleksi Domain Pendidikan Ekonomi dan Bisnis. Fakultas Ekonomi UKSW. Salatiga. 1 Desember.

Mulawarman, Aji Dedi. 2007a. Menggagas Laporan Arus Kas Syari’ah. Simposium Nasional Akuntansi X. Unhas Makassar. 26-28 Juli

Mulawarman, Aji Dedi. 2007b. Menggagas Neraca Syari’ah Berbasis Maal: Kontekstualisasi “Kekayaan Altruistik Islami”. The 1st Accounting Conference. FE-UI Depok. 7-9 Nopember.

Mulawarman, Aji Dedi. 2007c. Menggagas Laporan Keuangan Syari’ah Berbasis Trilogi Ma’isyah-Rizq-Maal. Simposium Nasional Ekonomi Islam 3. Unpad. Bandung. 14-15 Nopember.

Mulawarman, Aji Dedi. 2007d. Menggagas Teori Akuntansi Syari’ah. Seminar Akuntansi Syari’ah, Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang, 24 Nopember.

CITRA AKUNTANSI: KEPEDULIAN-KEHORMATAN ATAU KEKUASAAN-KESERAKAHAN?

2007 Nopember 16

CITRA AKUNTANSI: KEPEDULIAN-KEHORMATAN ATAU KEKUASAAN-KESERAKAHAN?
Oleh: Aji Dedi Mulawarman

PENDAHULUAN
Mengapa terjadi kecelakaan Adam Air (yang nota bene mendapat Award of Merit in the Category Low Cost Airline of the Year 2006 dalam acaa 3rd Annual Asia Pacific and Middle East Aviation Outlook Summit di Singapura, 9 Nopember 2006) dan KM Senopati yang menelan nyawa manusia ratusan jiwa mati dan menelan kesedihan ribuan keluarganya? Mengapa terjadi kecelakaan beruntun Kereta Api kelas ekonomi dan merenggut ratusan nyawa untuk mengamankan ratusan nyawa Kereta Api kelas eksekutif dan bisnis? Mengapa kejadian ini berulang kembali padahal menurut Jurnal Wacana Edisi 22 tahun VI tahun 2005 telah mendeteksi kesalahan penanganan transportasi nasional yang tidak mendekatkan konsep pengelolaannya pada domain kemanusiaan?
Mengapa Lumpur Sidoarjo tak kunjung selesai mengamankan kepentingan masyarakat Sidoarjo, tetapi lebih mementingkan kemungkinan kandungan minyak atau gas milik Lapindo? Mengapa Blue Print Migas Nasional hanya berorientasi pencapaian harga keekonomian untuk kepentingan pembukaan pasar minyak dan gas dengan mengorbankan kesengsaraan rakyat atas nama beratnya subsidi BBM dalam APBN? Mengapa perusahaan-perusahaan air minum daerah hampir mengalami “kerugian bersama secara nasional” dan meminta “pemutihan hutang” untuk efisiensi dan kinerja? Mengapa hutan-hutan kita tak kunjung “sehat” dari para pembalakan liar besar-besaran dan mengkambinghitamkan peladang berpindah atau penebang liar kecil sebagai biang keladi?
Hal ini bukan hanya dikarenakan kesalahan manajerial dan organisasi perusahaan yang semakin liar. Atau salah kaprahnya manajemen pemerintahan atau bahkan lingkungan alam yang biasanya dijadikan “tumbal kesalahan” akhir. Lebih jauh dari itu adalah konsep akuntansi kita yang salah kaprah. Akuntansi dan akuntan dalam konteks kontemporer saat ini selalu diklaim pada realitas yang obyektif, ilmiah, materialistik-kuantitatif, dan merupakan gagasan yang bebas nilai (value free). Pendidikan akuntansi sebagai sarana transfer knowledge-pun kemudian menjadi alat dari pola yang diarahkan pada setiap mahasiswanya untuk berpikir obyektif dan bebas nilai, materialistik-kuantitatif serta menjadi sosok akuntan yang independen. Tetapi di sisi lain, akuntansi dan akuntan sebenarnya dikerangkakan dalam model yang ”establish dan takluk” dalam genggaman para pemilik modal dan investor.
Akuntansi sekarang masih menjadi menara gading dan sulit sekali menyelesaikan masalah lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan ”market” (pasar modal) dan tidak dapat menyelesaikan masalah akuntansi untuk usaha mikro, kecil dan menengah yang mendominasi perekonomian Indonesia lebih dari 90%. Menurut data Indonesian Capital Market Direktory 2005, perusahaan yang terdaftar di bursa saham per Desember 2004 mencapai 331 perusahaan. Sebagai perbandingan, jumlah usaha mikro, kecil dan menengah saat ini mencapai lebih dari 16 juta entitas. Hal ini sebenarnya telah menegasikan sifat dasar lokalitas masyarakat Indonesia.
Akuntansi sebagai akhir aktivitas organisasi dalam pelaporan keuangan perusahaan merupakan mekanisme simbol pertanggungjawaban ritual dan dinamis. Dinamika pertanggungjawaban, di dalamnya mengandung makna ritmik kehidupan atas capaian produktivitas. Produktivitas dan capaian organisasi bisnis perusahaan sebagai head line selama ini selalu berujung pada bottom line laba, sebagai simbol self-interest perusahaan untuk kepentingan pemilik dan atau pemegang saham. Ritmik kehidupan seperti ini jelas bertentangan dengan ritmik biologis yang selalu mempertimbangkan keseimbangan alam semesta. Kesalahan bottom line laba sebenarnya berakar pada head line produktivitas merupakan capaian ritualitas yang kering dan bermakna keserakahan sebagai antitesis keseimbangan dan menegasikan keseimbangan alam semesta dan menegasikan realitas “dalam” maupun “luar” kecuali realitas “kekuasaan”, yaitu pemilik serta pemegang saham.

KIASAN KUDA TROYA
Kiasan atau metafora kekuasaan dan keserakahan/kekerasan adalah peran Agememnon dan sebagai raja dominan di antara raja-raja lainnya di Yunani serta Achilles sebagai prajurit perang paling gagah di antara prajurit lainnya di Yunani dalam tragedi Kuda Troya. Selama ini simbol keberhasilan dan kemegahan Yunani dicitrakan dengan kecerdikan bangsa Yunani menduduki Troya dengan Patung Kuda Troya. Kuda Troya adalah simbol keberhasilan Agememnon dengan kelicikan dan keserakahan menduduki Troya. Ketika sejarah mencatat bahwa kemenangan Agememnon menduduki Troya dengan Patung Kuda, maka yang menjadi head line Yunani adalah kekerasan dan strategi perang untuk menghasilkan bottom line kekuasaan.
Ketika sejarah mencatat realitas lain bahwa Achilles yang mulai luluh dengan sentuhan cinta ayah (raja Troya) kepada anak (pangeran Hector) yang dibunuh oleh Achilles dan juga mulai menemukan cinta kepada seorang wanita Troya, maka Achilles memberikan toleransi dan kepedulian untuk melakukan tradisi dua belas hari pemakaman demi kehormatan pangeran Hector dihadapan rakyatnya. Tradisi pemakaman dua belas hari bagi Agememnon tidak memiliki arti apapun dalam perang untuk kekuasaan dan pendudukan Troya. Atas alasan itu pula Agememnon tak menunda “ritual” perang demi ritual pemakaman, karena head line yang diperlukan Agememnon adalah kekuasaan, sehingga yang diperlukan adalah bottom line meraih keuntungan sebesar-besarnya dengan penyerangan di kala musuh lemah.
Model kekuasaan dengan kehormatan yang dilandasi keserakahan jelas berbuah keseimbangan baru yang sama kehormatan yang dilandasi keserakahan dari keinginan balas dendam yang tak lekang jaman. Ketika akuntansi mencatat bahwa keberhasilan perusahaan menduduki peringkat usahanya dengan kekerasan dan strategi perang model Kuda Troya, maka head line produksi dilakukan dengan kekerasan untuk untuk menghasilkan bottom line keuntungan dengan keserakahan.
Ketika akuntansi mencatat perlunya toleransi terhadap realitas lain bahwa perusahaan memiliki karyawan dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, maka perusahaan seharusnya menanamkan empatinya kepada realitas “dalam” dan “luar”. Karyawan juga memiliki ritual yang berbeda dengan perusahaan, karyawan memiliki realitas “dalam” dan “luar” pula. Realitas “dalam” karyawan seperti istri dan anak-anak serta keluarganya. Realitas “luar” karyawan seperti rekan sesama karyawan, atasan, tetangga dan lainnya. Realitas “dalam” perusahaan juga bukan hanya pemilik dan pemegang saham, tetapi juga karyawan dan tenaga kerja non-manajemen misalnya. Realitas “luar” perusahaan lebih luas lagi, seperti pemasok, distributor, masyarakat sekitar perusahaan, lingkungan alam dan Tuhan. Bahkan Tuhan bukan hanya sebagai realitas “luar” tetapi juga merupakan realitas “dalam” bagi perusahaan, pemilik, pemegang saham, karyawan, tenaga kerja non-manajemen, pemasok, distributor, masyarakat sekitar, lingkungan alam dan bahkan alam semesta ini. Bayangkan betapa rumit dan kompleksnya realitas “dalam” dan “luar yang berinteraksi dengan perusahaan. Ketika realitas “dalam” dan “luar” dimudahkan seperti pemikiran Agememnon yang berorientasi kekuasaan dan keserakahan, maka realitas dalam hanyalah dirinya dan luar adalah realitas yang dapat diabaikan, hanya untuk kepentingan kekuasaan dan keserakahan. Dengan demikian, pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan juga menjadi mudah dan tak perlu serumit realitas alam semesta yang saling berinteraksi dan memiliki relasinya yang membentuk ritmik kehidupan. Ketika realitas dianggap sebagai realitas kompleks sebenarnya harus ada sikap yang lebih luas pula daripada hanya head line kekuasaan dan bottom line keserakahan.

CITRA KEPEDULIAN DAN KEHORMATAN
Ritme kehidupan produktif sebagai head line seharusnya mulai diorientasikan pada bottom line nilai tambah perusahaan untuk kepentingan penggiat organisasi, lingkungan di luar organisasi baik langsung maupun tidak langsung, berujung pada pertanggungjawaban kepada Allah SWT. Bottom line nilai tambah sebagai bentuk ritmik kehidupan dapat dicapai ketika ritmik produktivitas memang “menyenandungkan” keseimbangan dan bukan keserakahan. Ritmik produksi sebagai “head line” harus menggambarkan “cinta” dan “kehormatan” perusahaan dari realitas “dalam” dan “luar” secara utuh, dan bukan hanya realitas pemilik serta pemegang saham. Cinta adalah kepedulian mendalam dari lubuk jiwa perusahaan ketika mengelola perusahaan untuk menghasilkan produk dan selalu mengedepankan kekuasaan yang penuh kehormatan dan bukan kekuasaan penuh keserakahan.
Konsep akuntansi jelas harus memiliki citra kepedulian dan kehormatan perusahaan. Simbol perusahaan bukan hanya dilihat dari brand image, perluasan usaha, megahnya gedung dan pabrik, besarnya akumulasi modal, kinerja perusahaan, maupun citra pemilik. Simbol perusahaan harus memiliki pula citra utamanya sebagai perusahaan yang selalu menyemai kepedulian dan menjaga kehormatannya. Simbol kepedulian dan kehormatan perusahaan secara utuh hanya dapat dilakukan ketika akuntansi juga mencitrakan hal yang sama. Apa ya mungkin? Semoga Allah memberikan petunjuk bagi setiap orang yang ingin diberi petunjuk oleh-Nya.

POSITIVE ACCOUNTING THEORY: APAKAH PERLU DIKRITIK?

2007 Desember 26

artikel ini telah dimuat di Jurnal MEDIA MAHARDIKA edisi 2008

POSITIVE ACCOUNTING THEORY: APAKAH PERLU DIKRITIK?
OLEH: AJI DEDI MULAWARMAN

ABSTRAKSI

Artikel ini mencoba menelusuri Positive Accounting Theory sebagai salah satu domain yang dominan dalam riset akuntansi, terutama artikel-artikel Watts dan Zimmerman (1978, 1986, 1990) melalui serangan kritik-kritik “positif” maupun “negatif” seperti dilakukan Tinker et.al. (1982), Christenson (1983), Whittington (1987), Sterling (1990), Boland dan Gordon (1992), Gaffikin (2005). Kritik “positif” terhadap Positive Accounting Theory memang hanya berkutat pada tataran metodologis dan untuk kepentingan pragmatism utility of accounting research. Sedangkan kritik “negatif” yang sebenarnya lebih fundamental, pada dataran filosofis (value laden) dan asumsi dasar teoritis (utility maximization), ternyata tidak (atau belum?) dipahami sebagai bentuk relationship of scientific accounting development. Tetapi selalu dipahami sebagai contradiction of scientific accounting development.

Kata kunci: Positive Accounting Theory, Kritik Metodologis, Kritik Filosofis, Kritik Asumsi Dasar Teoritis, Value Laden, Utility Maximization

1. PENDAHULUAN
Positivisme dalam Riset Akuntansi sebenarnya telah lama dilakukan, yang dimulai oleh Beaver (1968). Sedangkan Positive Accounting Theory (selanjutnya disebut PAT), dalam paradigmatic positioning, baru muncul ketika Watts dan Zimmerman meluncurkan artikel penelitiannya tahun 1978. Gagasan yang disampaikan oleh Watts dan Zimmerman merupakan gagasan teori yang sangat fenomenal, monumental sekaligus kontroversial. Banyak pujian muncul terhadapnya, dan akhirnya berujung dijadikannya PAT sebagai paradigma riset yang dominan, riset berbasis studi empiris-kuantitatif.
Tidak kurang pula kritikan dialamatkan kepada mereka. Kritikan, baik yang lebih menekankan pada kritik metodologi, kritik asumsi dasar ekonomi (teoritis), sampai pada kritik asumsi filosofis-sains. Kritikan pedas misalnya disampaikan Sterling (1990), yang mengatakan bahwa PAT tidak memenuhi syarat sebagai Ilmu yang utuh. Tetapi hanya dianggap sebagai Cottage Industry di sisi Periphery Accounting Thought. Atau disebut Tinker et.al. (1982) sebagai Marginalism.
Tulisan ini mencoba untuk melakukan penelusuran kritik-kritik yang dilakukan oleh akademisi di bidang akuntansi terhadap PAT dalam dua periode sebelum dan sesudah, yang dibatasi oleh artikel jawaban dari Watts dan Zimmerman (1990). Dari penelusuran itu akan ditarik benang merah yang muncul dari kritik PAT dan mencoba untuk melakukan evaluasi konstruktif.

2. KRITIK SEBELUM WATTS DAN ZIMMERMAN (1990)
Kritik yang dilakukan Christenson (1983) pada pertanyaan-pertanyaan riset “positif” yang sebenarnya hanya berkaitan dengan ‘sosiologi akuntansi’ bukannya bertujuan untuk membentuk “teori akuntansi”, karena hal tersebut berkaitan dengan deskripsi dan prediksi tentang perilaku para akuntan atau manajer, bukan perilaku ’entitas-entitas akuntansi’. Dan yang paling penting lagi adalah seperti yang disebut Zimmerman (1980) yang mengutip pernyataan Friedman (1953) “untuk membedakan ekonomi positif dan ekonomi normatif”, bahwa kebijakan ekonomi yang ‘benar’ tergantung pada kemajuan ekonomi normatif yang mendukung kemajuan ekonomi positif sehingga teori ekonomi dapat diterima. Friedman tidak menggunakan istilah “teori positif”, tapi dia mengatakan bahwa “tujuan akhir dari ilmu pengetahuan positif adalah perkembangan ‘teori’ atau ‘hipotesis’ yang mampu memprediksi secara valid dan bermakna atas fenomena yang belum diamati. Friedman menunjukkan perbedaan antara sains “positif” dan “normatif” dengan menyatakan bahwa: “sains positif dapat didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan (knowledge) tersistem yang berkaitan dengan “apa itu” (what is); sedangkan sains normatif atau regulatif didefinisikan sebagai seperangkat pengetahuan yang berhubungan dengan kriteria tentang bagaimana seharusnya……”. Konsep “sains positif” mulai populer sejak abad ke-19. Paradigma sains positif sering-kali disebut dengan “positivism”, yang hanya melakukan metode-metode ilmu pengetahuan alam yang memberikan “pengetahuan positif” (positive knowledge) tentang “apa” (what is) (untuk lebih detil dan sebagai pembanding dapat dilihat kritik dari Whitington 1987 misalnya).
Sebenarnya menurut Christenson (1983) memandang ilmu pengetahuan tidaklah harus dipandang dari perbedaan antara normatif dan positif. Tetapi ilmu pengetahuan empiris bisa dipandang sebagai produk (seperangkat pengetahuan atau knowledge yang tersistem) atau sebagai proses (aktivitas manusia dalam menghasil-kan pengetahuan atau knowledge). Para positivis menekankan pandangan bahwa ilmu pengetahuan me-rupakan suatu produk, yang ditunjukkan melalui struktur formal dalam bentuk proposisi empiris. Sementara itu, filsafat ilmu menekankan pada pandangan ilmu pengetahuan sebagai suatu proses. Jadi penekanan yang ingin disampaikan oleh Christenson adalah tidak penting apakah pencapaian ilmu pengetahuan itu dilakukan secara normatif atau positif, semuanya sah-sah saja. Dan semuanya benar. Bahkan pencapaian ilmu pengetahuan juga perlu dilakukan pada satu waktu bersifat normatif dan pada akhirnya bersifat positif. Hanya yang berbeda adalah pencapaian ilmu pengetahuan yang empiris lebih didasarkan pada produk dan proses.
Lebih mendalam lagi kritik PAT yang dilakukan Sterling (1990), dibagi dalam 3 bagian, yaitu Dua Pilar Utama (Studi Fenomena dan Value Free), Asumsi Dasar Ekonomi yang berakar pada Teori Ekonomi Positif, serta Science yang berakar dari Positivisme Logis) dan Pencapaian (Aktual dan Potensial). Kritik ringan Sterling berkaitan dengan penjelasan dan konten (isi) buku mereka yang terbit tahun 1986 yang berjudul POSITIVE ACCOUNTING THEORY. Rasional dari buku ini mengenai posisi scientific dari PAT hanya dijelaskan kurang dari 5% keseluruhan buku. Bab 1 yang terdiri dari 14 halaman dari 362 halaman, yang berkaitan mengapa teori dikatakan scientifik hanya setengahnya. Sehingga Sterling kemudian menjuluki buku ini sebagai Buku Akuntansi Empiris Berbasis Ilmu Ekonomi, bukan Buku tentang Teori Akuntansi. Hal ini terlihat dari parade kronologis studi empiris akuntansi pada Bab 2-13. sedangkan bab 14 merupakan Artikel Watts dan Zimmerman tahun 1979 yang diedit kembali. Sedangkan Bab 15 hanya Summary, Evaluation dan Prospects.
Kritik Sterling (1992) terhadap PAT dalam hal dua pilar utama, dibagi menjadi dua, yaitu studi fenonema dan value free. Studi fenomena sendiri berkaitan dengan penelitian praktik akuntansi, praktik akuntan dan utility maximization. Teori dianggap ilmiah bila berdasarkan praktik, sedangkan teori yang tidak dipraktikkan dianggap tidak ilmiah (semu). Praktik akuntansi didasarkan pada tujuan utama dari PAT, yaitu bahwa tujuan teori akuntansi adalah untuk menjelaskan (to explain) dan memprediksi (to predict). Studi fenomena yang berkaitan dengan praktik akuntan merupakan ekstensi fenomena akuntansi adalah bagaimana manajer membuat keputusan dengan memakai formulae atau mathematical constructions (seperti pada kasus LIFO atau LIFO). Pertanyaan yang muncul kemudian formula mana yang dipakai, kedua adalah mengapa formula tersebut yang dipakai. Fenomena akuntansi dan akuntan hanya diukur melalui mathematical constructions, yang digunakan untuk merepresentasikan bentuk-bentuk (informasi) akuntansi. Konstruk matematis ini dianggap Sterling hanya dapat memotret kata-kata dan angka-angka tanpa dapat melihat bentuk riil (things) dan kejadian (events). Sindiran Sterling (1990, 101) lengkapnya sebagai berikut:
They have fallen in love with pictures (financial statements) without recognizing that they need be images of matters (economic goods)

Sedangkan berkaitan dengan behavior akuntan praktisi, PAT memiliki basic assumption Utility Maximization. Utilitas dalam PAT diasumsikan atau diaproksimasi sebagai income (atau cashflow, wealth, variabel finansial lainnya). Asumsi ini menurut Sterling (1990) tidak selalu benar, misal utilitas dalam pandangan philanthropist bukanlah income, tetapi altruistik. PAT tidak pernah melihat utility maximization di luar kepentingan self-interest, seperti gagasan yang menjadi rujukannya, Chicago School yang tetap melihat dua hal tersebut dalam satu bagian utuh.
Bahkan Ulitily Maximization sebenarnya tidak hanya dapat dijelaskan dalam seluruh perhitungan statistik. Bila setiap manusia memang memiliki utility mazimization seharusnya hasil penelitian adalah 100%. Tetapi kenyataannya pasti ada R2, yang terlihat sebagai bentuk tidak adanya kepentingan Utility Maximization yang 100%. Dari sini diperlukan metode penelitian di luar kuantitatif research yang dapat menjelaskan realitas utility maximization yang bukan hanya dikonstruk dalam bentuk income dan derivasinya, atau bahkan perilaku di luar utility maximization. Sterling misalnya mengusulkan adanya Antropologi Akuntansi, yang melihat fenomena akuntansi bukan hanya dari hasil mathematical constructions yaitu laporan keuangan misalnya (misalya Tinker, et.al. 1982, mengusulkan Historical Materialism).
Tetapi fenomena akuntasi seharusnya juga melihat proses akuntan melakukan proses akuntansi sampai menghasilkan laporan keuangan. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh PAT, tetapi dapat dilakukan dalam kerangka sosiologis. Dari konteks seperti itu dapat terlihat motivasi perilaku apakah mengarah pada utility maximization atau tidak, kemudian juga dapat melakukan konfirmasi utuh terhadap realitas atau fenomena akuntansi dengan teori akuntansi yang normatif. Artinya tidak seperti PAT, yang menegasikan Teori Normatif, PAT telah salah dalam menilai Teori Normatif sebagai tidak ilmiah, dan hanya PAT yang ilmiah. Sebagai Newton atau Einstein-pun sebenarnya merumuskan teorinya tidak seluruhnya berasal dari fenomena yang seragam, tetapi juga dapat berasal dari pikiran normatif (misalnya Einstein dengan rumus E=mc2) atau fenomena tunggal (misalnya Newton dengan gagasan Gravity Theory)
Pilar kedua PAT menurut Sterling (1990) adalah Value Free. Value Free menghindari pertanyaan mengenai nilai (menjadi positive atau descriptive) adalah Ilmiah. Sedangkan yang mempertanyakan nilai (normatif) dianggap tidak ilmiah atau teori semu. Science adalah bebas nilai atau positif sedangkan yang sarat nilai atau normatif dianggap tidak ilmiah. Lacunae (bagian yang hilang) dari PAT adalah reduksi teori normatif, dan Positif adalah satu-satunya yang Ilmiah.
Sebenarnya tidak mungkin realitas akuntansi bebas dari aspek normatif, yang dengan demikian sarat dengan nilai. Ketika Watts dan Zimmerman mendefinisikan PAT sebagai textbook, saat itu pula PAT telah menjadi normatif dan Watts dan Zimmerman telah memasukkan nilai bahwa yang benar adalah proses empiris. Realitas empiris sebenarnya mempraktikkan aspek normatif akuntansi, yang kemudian diuji secara statistik (positif) yang kemudian melakukan konfirmasi teori. Sains secara umum memiliki rantai interelasi aktivitas; peneliti mencari dan menemukan teknik yang lebih maju, akademisi mengajarkan teknik tersebut, praktisi mengimplementasikan teknik lebih baik
PAT, lanjut Sterling (1990) dibangun dalam dua asumsi dasar, yaitu Ilmu Ekonomi Positif dan Positifisme Logis. Basis PAT dalam ekonomi seharusnya merujuk pada National Income Accounting. Juga dalam konsep utility, seharusnya merujuk konsep Optimality Pareto yang juga menjadi basis Chicago School. Basis PAT dalam sains merujuk pada positifisme logis. Positifisme sebenarnya adalah turunan langsung dari Positifisme Logis dari Hempel, Passmore, Poincare, dan Popper (hal ini diakui oleh Watts dan Zimmerman). Tetapi mereka sendiri melakukan penolakan terhadap konsep positifisme logis yang dianggap masih banyak kerumitan di dalamnya. Sedangkan penentuan kata positif dirujuk dari ilmu ekonomi yang banyak dipengaruhi oleh positifisme.
Berkaitan dengan pencapaian aktual dan potensial PAT, Watts dan Zimmerman (1986) memulai dengan asumsi bahwa semua orang bertindak untuk memaksimalkan utilitas mereka ketika menyeleksi metode akuntansi. Setelah 350 halaman dari buku PAT mereka menyimpulkan dari temuan empiris utama bahwa para manajer bertindak untuk memaksimalkan utilitas mereka ketika melakukan pemilihan metode-metode akuntansi. Kesimpulan empiris pemilik dan manajer memiliki kepentingan diri sendiri dengan memanipulasi angka akuntansi. Pengalaman itu dihasilkan dalam membangun fungsi auditing (dan membangun banyak komisi regulatori, pengesahan undang-undang, dll). Untuk alasan-alasan ini, masalah-masalh semacam itu telah dijelaskan oleh ahli teori normatif dan lainnya selama puluhan tahun. Hal yang sama dalam Pencapaian Aktual dalam 20 tahun yang akan datang terdapat laporan penelitian bahwa manajer dan atau pemilik cenderung memanipulasi angka. Hal ini sebenarnya juga sudah diprediksi oleh Normative Theory.

3. SESUDAH WATTS AND ZIMMERMAN (1990)
Watts dan Zimmerman tahun 1990 menulis artikel setelah sepuluh tahun keluarnya gagasan mereka tahun 1978 mengenai PAT, dan empat tahun setelah terbitnya gagasan PAT dalam bentuk buku. Artikel Watts dan Zimmerman (1990), disamping melakukan evaluasi perkembangan PAT secara konseptual, juga melakukan tanggapan atas kritik-kritik terhadap PAT.
Meskipun yang banyak dilakukan Watts dan Zimmerman (1990) adalah evaluasi mengenai konsep metodologis, bagaimana perkembangannya sampai saat ini dan pengembangan hipotesis yang dapat menunjang konsep utama PAT, to explain dan to predict. Pengakuan terhadap asumsi filosofis dan asumsi saintifik, sangat tidak konstruktif. Pengakuan bahwa sains tidak bebas nilai sebenarnya telah dipahami oleh Watts dan Zimmerman, meskipun dengan ’agak malu-malu’.
Kritik asumsi dasar PAT sesudah tulisan Watts dan Zimmerman (1990), misalnya datang dari Boland dan Gordon (1992), yang menurut mereka asumsi dasar PAT berasal dari Economic-Based Accounting Theory (1978, p.4; 1986, pp.1 & 13). Atau lebih detil lagi menurut Boland dan Gordon (1992) asumsi Watts Zimmerman tahun 1978, 1979 dan 1980 merupakan penggabungan dari Instrumentalisme dari Milton Friedman. Instrumentalisme menyatakan bahwa teori dan explanation harus dijustifikasi untuk kepentingan usefullness daripada realism. Asumsi Watts dan Zimmerman juga berasal dari Positivisme-nya Paul Samuelson. Teori yang berbasis empiris tidak akan berjalan jika hanya berada pada kondisi ideal. Sedangkan asumsi Watts dan Zimmerman tahun 1986 berasal dari kombinasi Poincare, Hemple dan Popper, yaitu Conventionalism. Conventionalism menyatakan bahwa teori tidak pernah sepenuhnya benar atau salah (never absolutely thrue or false).
Sedangkan kritik Boland dan Gordon (1992) dilakukan dalam tiga asumsi Metodologis, Filosofis, Akuntansi berbasis Ilmu Ekonomi. Pertama, Kritik metodologi seperti dilakukan Lev dan Ohlson (1982) memandang PAT tidak dapat dipakai untuk model yang multiperson, multiperiod equilibria, terdapat kesenjangan antara strategic considerations dan pendekatan game-theory yang dijadikan basis mengembangkan teori formal. Ball dan Foster (1982) memandang validitas konstruk dalam variabel “size” tidak jelas. Houlthausen dan Leftwich (1983) melihat terdapat dikotomi problematik dari variabel dependen yang merepresentasikan persetujuan atau ketidaksetujuan dalam penentuan standar akuntansi. McKee, Bell dan Boatsman (1984) memandang terdapat bias identifikasi statistik dalam studi Watts dan Zimmerman 1978.
Kedua, kritik Filosofis mirip Kritik Value Free dalam Sterling. Banyak penulis mengkritik pembedaan Positif dan Normatif dari Watts dan Zimmerman (Tinker, Merino, dan Neimark 1982; Christenson 1983; Schreuder 1984; Whittington 1987; Whitley 1988). Hal ini seperti dibahas oleh Sterling, yang lebih penting adalah seperti dijelaskan oleh Boland dan Gordon (1992) bahwa PAT berasal dari positivisme ala London School Economics dan Chicago School.
Ketiga, kritik berbasis Ilmu Ekonomi, menurut Boland dan Gordon (1992) beberapa pengkritik melihat keterbatasan penjelasan PAT (Sterling 1990 dan Mouck 1990). Dalam teori ekonomi sendiri, maksimasi kepentingan individu tidak sepenuhnya dilakukan. Hal ini harus juga dipandang bahwa maksimasi juga harus mempertimbangkan maksimasi welfare of society. Inilah yang disebut dengan General Equilibrium dari Chicago School yang dihilangkan dari asumsi Watts dan Zimmerman. Mereka hanya merujuk salah satu gagasan Chicago School terutama tulisan dari George Stigler dan Gary Becker 1977. Terutama pada gagasan penjelasan fenomena sebagai konsekuensi maksimasi utilitas atau secara tidak langsung pada profit atau maksimasi kekayaan. Sehingga segala bentuk model yang dibangun harus memberikan dukungan pada asumsi utama ini. Inilah yang disebut dengan Conventionalisme atau Friedman’s Instrumentalism, yaitu bahwa model merupakan aproksimasi yang baik dari realitas.
PAT memang sampai saat ini masih tidak berubah dari substansi asalnya. Hal ini ditegaskan oleh Gaffikin (2005), bahwa PAT memiliki asumsi sentral yaitu setiap individu selalu memiliki tujuan untuk meningkatkan kepentingan dirinya sendiri. Asumsi ini berasal dari teori ekonomi neo-klasikal. Tujuannya adalah untuk menjelaskan dan memprediksi praktik akuntansi serta mengendalikan perilaku opurtunistik dalam bentuk bonding (seperti restriksi), monitoring (seperti reporting) dan compensation (seperti stock options). Kritik Gaffikin (2005) menyatakan bahwa PAT tidak pernah melakukan preskripsi, tidak bebas nilai, memiliki asumsi keperilakuan yang simplistis, secara scientific mengidap cacat (flawed), dan miskin (atau tidak memiliki) kontribusi praktis akuntansi.

4. EVALUASI KRITIS PAT
Kritik-kritik terhadap PAT sebenarnya merupakan diskursus yang memberikan kontribusi keilmuan akuntansi. Kritik balik Watts dan Zimmerman (terutama dalam kritik filosofis-saintifik) yang dialamatkan kepada mereka, dianggap tidak memiliki kontribusi apapun terhadap praktik akuntansi. Kerangka berpikir Watts dan Zimmerman sepertinya lebih didorong oleh pragmatism utility of knowledge of accounting research. Ukuran yang dipakai oleh Watts dan Zimmerman ditera sesuai dengan kontribusi yang dihasilkan oleh mereka sendiri, yang menurut mereka PAT lebih memberi manfaat langsung. Sedangkan kontribusi yang diinginkan oleh para kritikus memang berbeda, yaitu masuk pada substansi keilmuan akuntansi dan bukan hanya terpenjara dalam praktik akuntansi an sich.
Value Laden
Dalam konteks value laden misalnya, Watts dan Zimmerman memahami pentingnya nilai yang mempengaruhi akuntan. Tetapi Watts dan Zimmerman tetap tidak memahami pengaruh yang muncul ketika nilai sosiologis-psikologis akuntan bersentuhan dengan hasil yang diperoleh oleh akuntan dalam bentuk laporan keuangan misalnya. Dijelaskan Chua (1986), akuntansi bukan hanya dipandang sebagai rasional teknik saja, suatu aktivitas jasa yang terpisah dari hubungan kemasyarakatan. Tetapi, seperti dikatakan oleh Hines (1989), bahwa :
accounting creates and maintains (or can play a part in changing) the social world, is through its reflection and reinforcement of the values of society.

Ketika akuntansi sarat nilai, yaitu ketika akuntansi konvensional masih didominasi world-view Barat, yang terjadi dalam karakter akuntansi pasti bernilai kapitalisme, sekuler, egois, anti-altruistik. Hameed (2000a) menggambarkan, bahwa tujuan akuntansi sebagai decision usefulness untuk investor dan kreditor yang berorientasi pada pasar modal berasal dari world-view materialisme dan norma-norma ekonomi kapitalisme. Hal ini ditegaskan Harahap (2001, 305-306), bahwa akuntansi barat dibangun atas dasar filsafat materialisme-sekulerisme hasil pemikiran manusia tanpa campur tangan Allah.
Bila ditelusuri lebih jauh, akar pemikiran akuntansi konvensional tersebut berasal dari substansi Ilmu Ekonomi, yang berprinsip pada self-interest (lihat misalnya pemikiran Soros 2002 hal 140 ). Self-interest adalah representasi substansi pandangan dunia (world-view/paradigma) Barat yang sekuler dan kapitalistik.
Sekularisme adalah bentuk 3 penegasian, yaitu penegasian kekuasaan dan kekuatan di luar manusia (anthropocentrism), hilangnya nilai-nilai non-materi (materialism) dan penolakan terhadap certainty condition (relativism) (lebih jauh lihat Al-Attas 1981). Ketika sekularisme telah muncul di awal pembentukannya di kalangan Barat setelah Renaissance dan Revolusi Ilmiah serta Revolusi Teknologi. Diakui sendiri oleh kalangan Barat, bahwa sekularisme telah keluar dari domain religi, dan telah bermakna sosiologis (lihat misalnya sosiologi sekularisasinya Glasner 1992). Sekularisme dalam akuntansi, ketika melihat akuntansi modern hanya memiliki sifat materialisme. Seperti terlihat dalam laporan keuangan yang hanya memberikan informasi tentang aktivitas perusahaan yang bersifat materi dan diukur dalam unit uang, atau singkatnya menyajikan realitas materi saja.
Pemikiran kapitalisme seperti dijelaskan panjang lebar oleh Fukuyama (2003) seorang pemikir politik beraliran Neo-Hegelisme, menyebutkan manusia adalah seperti binatang yang memiliki kebutuhan alami dan hasrat terhadap benda di luar dirinya seperti makanan, minuman, tempat berlindung, dan segala sesuatu yang mempertahankan fisiknya. Namun, lanjut Fukuyama, manusia berbeda secara fundamental dari binatang, karena disamping manusia memiliki hasrat terhadap orang lain, ia juga ingin “diakui” oleh orang lain, terutama dia ingin diakui sebagai manusia dengan martabat dan penghargaan tertentu. Penghargaan, menurut Fukuyama adalah pertama yang berhubungan dengan keinginannya untuk mempertaruhkan kehidupannya demi perjuangan memperoleh prestise yang lebih baik. Karena hanya manusia, lebih lanjut Fukuyama menjelaskan, yang mengatasi instink hewan untuk mencapai prinsip-prinsip tujuan yang lebih abstrak dan tinggi. Tujuan dalam peperangan berdarah pada awal sejarah bukanlah makanan, tempat berlindung atau keamanan, tetapi semata-mata untuk prestise. Sehingga yang muncul kemudian adalah takut matinya seseorang atas orang lain, dan akhirnya muncul yang dinamakan sebagai “tuan” dan “budak”. Berdasarkan filosofi inilah kemudian kapitalisme berkembang, seperti yang dijadikan landasan Weber, melegitimasi kapitalisme sebagai rasionalisasi kemajuan dan perbaikan manusia dalam mengarungi dunia. Weber (2003) telah mengarahkan bagaimana Akuntansi sebagai alat dari para pemilik modal untuk melegitimasi, mencatat dan mempertahkan kepentingan pribadinya. Ketika perusahaan sebagai pusat modal dan simbol kekuasaan, berkembang dengan pemisahan antara pemilik modal dan manejemen, maka yang terjadi sebenarnya bukanlah konflik kepentingan dalam teori agensi. Dalam domain akuntansi, pengaruh kapitalisme dijelaskan oleh Hines (1989), pertama, bahwa fungsi-fungsi akuntansi berjalan di dalam lingkungan pasar kompetitif dan yang kuat yang akan bertahan. Pasar diarahkan pada the invisible hand kompetisi bebas, perusahaan yang paling efisien yang paling profitable dalam terminologi akuntansi. Kedua, asumsi produsen dan pengguna informasi akuntansi bertindak rasional, yang menurut Hines merupakan terminologi yang dibangun dari tradisi self-interest yang berdampak pada survival of the fittest. Sehingga berakibat pada studi-studi akuntansi yang kurang memperhatikan aspek eksternalitas. Dan ketiga, lebih mementingkan shareholders dan creditors, dimana hanya hak kepemilikan (property rights) riil yang dianggap eksis, dan cenderung mereduksi hak-hak masyarakat lainnya yang sarat dengan nilai.
Dua hal itulah (sekularisme dan kapitalisme) yang kemudian mengarahkan pemikiran manusia Barat menjadi terobsesi dengan dirinya sendiri. Muncul dalam bentuk pondasi ekonomi Barat yang berprinsip pada Self-Interest. Dengan prinsip utama self-interest, berdampak pada kepentingan perusahaan yang berorientasi stockholders atau shareholders. Kepentingan tersebut adalah bentuk penegasian kekuatan di luar dirinya dan tidak berlakunya nilai etis. Serta mengarahkan konteks ekonomi yang selalu berada pada kondisi ketidakpastian yang mutlak, dan tidak bermanfaatnya eksternalitas kecuali berdampak langsung terhadap dirinya. Ujung-ujungnya, adalah rekayasa kepentingan manusia yang harus selalu memikirkan untuk dapat hidup dalam kepuasan dan kesenangan (laissez-faire ). Dampak lanjutan dari self-interest dalam akuntansi, mengarah pada laporan keuangan, informasi serta akuntabilitas pada shareholders maupun stockholders (lihat misalnya Triyuwono 2000; Hameed 2000b; Harahap 2002). Bentuk riilnya terpampang dalam Laporan Laba Rugi/Income Statement, dengan akhir perhitungan, berupa Laba (earnings-based oriented).
Mathematical Constructions
Di samping itu, teori akuntansi, menurut Sterling (1990) bukan hanya reduksi informasi akuntansi menjadi mathematical constructions, tetapi juga berhubungan dengan things dan events. Bila memang asumsi akuntansi mirip studi kealaman, dengan demikian perlu penggeseran tradisi keilmuan menjadi cabang ilmu matematika dan teknik, menjadi penting S-Matrix Theory dari Geoffrey Chew yang merupakan gagasan teknis dari Filsafat Bootstrap. Filsafat Bootstrap (Capra 2000) adalah teori puncak fisika kuantum dan relativitas, dengan kesadaran kesalinghubungan esensial dan universal, memperoleh unsur dinamisnya dari teori realitivitas dan dirumuskan dalam konteks probabilitas reaksi dalam S-Matrix Theory. S-Matrix Theory yang menggabungkan konsep Kuantum dan Relativitas layak dipertimbangkan untuk memahami sifat-sifat informasi akuntansi sebagai representasi simbolik reaksi partikel (investor) yang dideskripsikan dalam konteks kecepatan (momentum) investor ‘bermain’ di bursa saham.
Tetapi, sekali lagi, apakah mungkin S-Matrix Theory kemudian hanya terpakai secara parsial dalam Teori Akuntansi Positif, seperti yang terjadi dalam pemakaian asumsi dasar teoritis ekonomi Neo-Klasik yaitu konsep utility maximization dari Chicago School, MIT, Harvard ataupun London School of Economics. Utility maximization yang hanya dipakai sampai pada taraf kepentingan pemilik modal dan menegasikan asumsi lanjutan yang bersifat Keseimbangan Pareto? Karena S-Matrix Theory mensyaratkan empat postulat (prinsip umum) yang membatasi kemungkinan matematis untuk mengkonstruksi elemen matriks S sehingga memberikan suatu struktur tertentu pada matriks S.
Prinsip pertama, berasal dari teori relativitas, yaitu bahwa probabilitas-probabillitas reaksi mesti tak tergantung (Independensi) pada perpindahan peralatan eksperimental dalam ruang dan waktu, tak bergantung pada orientasinya dalam ruang dan tergantung pada keadaan gerak dari pengamat. Independensi suatu reaksi partikel terhadap orientasi dan perpindahannya dalam ruang dan waktu menyiratkan kekelan jumlah total rotasi, momentum dan energi yang terlibat dalam reaksi. Simetri ini sangat mendasar bagi aktivitas ilmiah.
Prinsip kedua, berasal dari teori kuantum, bahwa hasil reaksi tertentu hanya dapat diprediksi dalam konteks probabilitas, dan lebih jauh lagi, jumlah probabilitas untuk seluruh hasil yang mungkin – termasuk ketika tak terjadi interaksi antar partikel – harus sama dengan satu. Dengan kata lain, kita bisa memastikan apakah partikel-partikel ini akan berinteraksi satu sama lain, atau tidak sama sekali. Prinsip ini dinamakan prinsip uniter yang secara tegas membatasi kemungkinan-kemungkinan untuk menyusun elemen matriks S.
Prinsip ketiga dan keempat, terkait dengan gagasan tentang sebab akibat (prinsip kasualitas). Prinsip ini menyatakan bahwa energi dan momentum berpindah melalui jarak-jarak spasial hanya melalui partikel-partikel, dan perpindahan energi dan momentum ini terjadi sedemikian sehingga sebuah partikel dapat tercipta dalam suatu reaksi dan musnah dalam reaksi lainnya hanya jika reakis yang terakhir terjadi setelah reaksi sebelumnya. Rumusan matematis dari prinsip energi dan momentum dari partikel-partikel yang terlibat dalam suatu rekasi, kecuali untuk nilai-nilai dimana penciptaan partikel-partikel yang baru menjadi mungkin. Pada nilai-nilai itu, struktur matematis dari Matriks S berubah secara tiba-tiba; menjumpai apa yang disebut matematikawan sebagai singularitas
Ulitity Maximization
Kemudian, berkaitan dengan reduksi positifisme logis atas ekuilibrium dan definisi utility maximization yang masih dipahami sebagai approximation dalam bentuk income, cashflow, abnormal return dan lainnya. Watts dan Zimmerman masih tidak menginginkan adanya bentuk lain dari utility maximization seperti pandangan filantropis, misalnya distribusi kesejahteraan atau value added. Atau mungkin di luar utility maximization yang tidak ter’cover’ dalam asumsi dasar economic based accounting theory. Seperti konsep mandatory-charity atau dalam bahasa budaya asli kita, shadaqah, infaq dan zakat yang tidak (belum) dipahami dengan utuh dalam konsep Kapitalisme, Materialisme dan Anthropocentrism (Self-Interest) yang merupakan substansi dari konsep utility maximization Chicago School, MIT, Harvard ataupun London School of Economics.

5. CATATAN AKHIR
Benarlah kemudian ketika Suwardjono (2005, 32-34; 482-495) yang meletakkan pembahasan mengenai PAT sebagai bagian dari Akuntansi dalam Tataran Pragmatik. Tataran Pragmatik dalam teori komunikasi berkepentingan untuk menentukan apakah pesan sampai kepada penerima dan mempengaruhi perilaku yang dituju. Teori akuntansi pragmatik memusatkan perhatiannya pada pengaruh informasi terhadap perubahan perilaku pemakai informasi akuntansi. Apakah akhirnya pihak pemakai informasi tersebut untuk dasar pengambilan keputusan merupakan masalah usefulness informasi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya asosiasi antara angka akuntansi atau peristiwa (event) dengan return, harga atau volume saham di pasar modal
Sebenarnya kontribusi keilmuan akuntansi tidak hanya bersifat pragmatis saja, tetapi harus selalu dalam bentuk multidimensi dan multi arah. Tidak hanya bersifat linier dan selalu dependensi satu arah atau beberapa arah yang membentuk parsial utility. Kontribusi haruslah integrated utility, yang dengan itu maka akuntansi tidak terjebak pada konteks pragmatis saja dengan ambil teori sana, ambil teori sini.
Akuntansi bukanlah “bangunan mati” yang dapat didirikan oleh batu batu, semen, pasir, cat yang semuanya berasal dari benda mati. Tetapi bila ingin menjadi ilmu yang kokoh, seharusnya mengarah menjadi “pohon hidup” keilmuannya sendiri. Struktur keilmuan akuntansi yang memiliki akar kuat, ke dalam, memiliki batang yang kokoh, cabang dapat memberikan tempat bagi daun dan buah untuk tumbuh, serta bermanfaat dan bagi lingkungan serta entitas di luarnya.

DAFTAR REFERENSI
Al-Attas, Syed Muhammad Al Naquib, 1981. Islam dan Sekularisme. Terjemahan. Penerbit Pustaka. Bandung.
Boland Lawrence A, Irene M. Gordon. 1992. Criticizing Positive Accounting Theory. Contemporary Accounting Research. 9(1). pp. 142-170
Chua Wai Fong. 1986. Radical developments in accounting thought. The Accounting Review. LXI (4): 601-32.
Capra, Fritjof. 2000. The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels between Modern Physics and Eastern Mysticism. 4th edition. Shambala Publications, Inc. Boston.
Christenson, Charles. 1983. The Methodology of Positive Accounting. The Accounting Review. LVIII (1) pp 1-22.
Fukuyama. Francis F. 2003. The End of History and The Last Man. Terjemahan. Pustaka Kalam. Yogyakarta.
Gaffikin, 2005. Positive Accounting: Where About?. Notes for an Introduction to Theoritical Foundations of Research. The First Postgraduate Consortium on Accounting. Brawijaya University. March, 1, 2005.
Glasner, E. 1992. Sosiologi Sekularisasi Suatu Kritik Konsep. Terjemahan. Tiara Wacana, Yogyakarta.
Hameed, Shahul. 2000a. From Conventional Accounting to Islamic Accounting: Review of the Development Western Accounting Theory and its Implications for and Differences in the Development of Islamic Accounting. www.islamic-finance.com
Hameed, Shahul. 2000b. A Review of Income and Value Measurement Concepts in Conventional Accounting Theory and Their Relevance to Islamic Accounting. www.islamic-finance.com
Harahap, Sofyan S. 2001. Menuju Perumusan Teori Akuntansi Islam. Pustaka Quantum. Jakarta.
Harahap, Sofyan S. 2002. Teori Akuntansi. Edisi Revisi. Rajawali Press. Jakarta.
Hines, Ruth D. 1989. The sociopolitical paradigm in financial accounting research. Accounting, Auditing and Accountability Journal 2 (1): 52-76.
Sardar, Ziauddin. 1987. Masa Depan Islam. Terjemahan. Penerbit Pustaka. Bandung.
Soros, George. 2002. Krisis Kapitalisme Global : Masyarakat Terbuka dan Ancaman Terhadapnya. Terjemahan. Qalam. Yogyakarta.
Sterling, Robert R. 1990. Positive Accounting: An Assessment. ABACUS. 97-135.
Suwardjono. 2005. Teori Akuntansi: Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi Ketiga. BPFE Yogyakarta.
Tinker, Anthony M., Barbara D. Merino, Marilyn Dale Neimark. 1982. The Normative Origins of Positive Theories: Ideology and Accounting Thought. In Accounting Theory: A Contemporary Review. Jones, Stewart., C. Romano, J. Ratnatunga (ed.). 1995. Harcourt Brace. Australia.
Triyuwono, Iwan. 2000a. Organisasi dan Akuntansi Syari’ah. LkiS. Yogyakarta.
Watts, Ross L., Jerold L. Zimmerman. 1990. Positive Accounting Theory: A Ten Year Perspective. The Accounting Review. 65(1). pp. 131-156.
Weber, Max., 2003. Etika Protestan dan Semangat Kapitalism. Terjemahan. Pustaka Promothea. Jakarta.
Whitington. 1987. Positive Accounting: A Review Article. Accounting and Business Research. 17(68). pp 327-336.

Cari Blog Ini

Follow me

About this blog

Dalam diri manusia itu ada dua macam potensi tipuan dan rayuan. Dua hal itu seperti duri jika dipegang dan ibarat bunga jika dipandang. Apabila engkau memerlukan pertolongan mereka, bersikaplah bagai api yang dapat membakar duri-duri itu.